Wednesday, April 18, 2012

Gereja sebagai brand

Gereja: Apakah masih relevan bagi kaum muda urban Indonesia?
Sebuah refleksi melihat Gereja sebagai brand

Oleh: Eric Santosa

Seorang teman lama meminta saya berpartisipasi dalam sebuah workshop mengenai Gereja dan kaum muda. Tulisan ini dimaksudkan untuk mengajak kita mempertanyakan diri sendiri, baik sebagai kaum muda maupun sebagai pengelola Gereja di sebuah kota megapolitan di Indonesia. Atau lebih luas lagi sebagai pengelola sebuah institusi yang membawa embel-embel nama agama. Saya sendiri adalah orang yang sudah lama sekali meninggalkan Gereja sebagai sebuah institusi dan praktek keagamaan. Anda tidak salah bila mengatakan saya orang yang tidak beragama. Akan tetapi di lain pihak saya mengakui hutang budi saya pada Gereja dalam tradisi pemikiran, spiritual, dan tradisi bertutur sastra. Dan di mata saya tradisi yang dimiliki Gereja itu adalah kontribusi yang paling berharga bagi dunia saat ini, terutama bagi kaum muda. Saya berharap refleksi ini berguna bukan hanya untuk kalangan gereja tetapi juga untuk umat beragama lebih luas.

Mengingat situasi saya tersebut di atas, saya rasa perlu menceritakan siapa, apa kepentingan saya dan mengapa mesti peduli pada kaum muda dan Gereja, atau institusi agama secara lebih luas.

Warisan Gereja bagi saya

Saya merasa beruntung di masa remaja pernah bergaul dan bertemu beberapa orang yang membantu menemukan diri sendiri, dan membuat saya tertarik mempelajari berbagai tradisi spiritual, pemikiran dan praktek pendidikan karakter. Tentu saja terbatas yang bersifat alkitabiah. Di Gereja saya menemukan keasyikan tersendiri membaca berbagai teks sejarah gereja dan bagaimana teks kitab suci dipelajari dan dipahami secara hermenetik-eksegetik. Di Gereja saya merasa beruntung membaca dengan takjub berbagai cerita tentang Yesus dan para Nabi. Sama takjub dan terbenamnya seperti saya membaca cerita novel East of Eden atau Tortila Flat karya John Steinbeck; Human Comedy karya William Saroyan, atau juga Bumi Manusia karya Pramudya Ananta Toer. Saya merasa beruntung juga pernah terlibat dalam kelompok kecil dimana saya terlibat diskusi pendalaman alkitab dan human encounter yang sangat bernilai dan tulus. Itu tiga warisan gereja paling penting buat saya. Sampai sekarang walau saya sampai saat ini tidak berminat menjadi anggota gereja atau agama manapun, saya tidak dapat menyangkali hutang budi saya pada gereja.

Saya meninggalkan Gereja bukan terutama karena ada masalah pada Gereja, tetapi karena saya sendiri yang bermasalah. Saya orang yang restless, mungkin sampai sekarang. Buat saya ketika itu kehidupan Gereja monoton, tidak menarik. Terlalu banyak pertanyaan yang tidak saya temukan jawabannya di dalam Gereja. Berbagai pertanyaan dalam benak tentang diri dan dunia membawa saya keluar, yang kemudian saya sadari apa yang saya cari sebenarnya adalah berdamai dengan diri sendiri dan dunia.

Di luar Gereja saya menemukan bahwa saya tidak bisa meninggalkan warisan yang saya telah peroleh di Gereja. Saya meninggalkan Gereja ketika tahun-tahun pertama saya menjadi mahasiswa, tidak lama setelah saya selesai menjadi ketua pengurus komisi remaja GKI Kebayoran baru. Di kala itu berbagai pertanyaaan seputar isu pluralisme dan metode ilmu pengetahuan lebih menarik. Dan wacana filsafat ilmu, manusia dan kebudayaan lebih menjanjikan jawaban atas berbagai pertanyaan saya. Di masa ini tradisi interpretasi teks hermenetik tetap menarik buat saya. Setelah menjadi sarjana saya memutuskan masuk ke dunia pendidikan, penelitian dan pelatihan kaum muda. Sampai satu titik saya menemukan bahwa dunia pendidikan juga terlalu dogmatis dan konservatif buat saya. Saya memutuskan keluar dari institusi pendidikan formal walaupun saya masih mengajar setengah hari dalam seminggu.

Selama lebih dari sepuluh tahun saya hidup dengan satu kaki di dunia pendidikan dan kaki lainnya di dunia bisnis, marketing dan brand development, sebelum akhirnya belakangan memutuskan full-time di bisnis. Selama masa ini saya banyak melibatkan diri dalam berbagai pertanyaan dan isu tentang youth communities, education, business dan economic development. Di sini saya lebih banyak bertemu dengan orang di dunia bisnis yang memiliki concern besar dan serius pada pendidikan, pluralisme, kaum muda dan development issues. Lebih serius dan reflektif bahkan di mata saya dibandingkan orang-orang yang berkecimpung full-time di dunia pendidikan dan lembaga swadaya masyarakat.

Ternyata di dunia yang saya geluti sekarang ini tiga warisan Gereja yang saya ceritakan di atas malah semakin relevan dan bernilai. Tiga warisan Gereja itu ibarat kompas dan pisau serbaguna bagi seorang penjelajah alam. Tentu saja hal ini tidak terbatas pada dunia pekerjaan, tetapi yang saya ingin ceritakan adalah relevansi warisan tersebut dalam pekerjaan saya, dengan harapan ada sesuatu yang berguna dari pengalaman saya untuk pengembangan Gereja.

Ada dua area besar dimana apa yang saya sebut sebagai warisan gereja ini menjadi relevan dan bernilai. Pertama adalah area dimana kaum muda menjadi target consumer market masa depan bagi product brand owners. Dan kedua adalah area dimana kaum muda menjadi target talent market bagi corporate brand owners. Kompetisi yang sesungguhnya di antara big corporations seringkali bukan dalam hal mencari konsumen produk, melainkan dalam hal recruiting best talents untuk menjadi good corporate leaders.

Pertama-tama kaum muda adalah segmen yang menjadi target pasar dari hampir semua bisnis yang bergerak di industri FMCG (fast-moving consumer goods), Horeca dan FnB. Jangan berprasangka berpikir bahwa semua brand-owners berkepentingan hanya agar kaum muda membeli produk mereka. Memang masih banyak dari mereka yang hanya berpenglihatan pendek. Akan tetapi tidak sedikit dari mereka yang berpandangan jauh ke depan. Mereka memandang bisnis bukan terutama tentang mengumpulkan kekayaan, dan marketing bukanlah tentang menjual produk. Bagi mereka, visionary brand owners, tujuan bisnis adalah membantu orang meningkatkan kualitas hidupnya. Dan marketing tujuannya adalah membangun dunia masa depan dengan idealisme. Mereka berpikir bagaimana inovasi produk, layanan dan relasi publik mereka dapat menolong hidup orang.

Pekerjaan saya sendiri sebagai ethnographer dan strategic planner adalah membantu bisnis memahami seperti apa hidup orang-orang muda yang menjadi target mereka, dan apa yang dapat dilakukan agar produk dan layanan mereka dapat sungguh-sungguh menolong target kaum muda. Apa yang saya sebut sebagai warisan gereja itu sangat membantu saya dalam pekerjaan ini. Menggunakan pendekatan interpretasi teks hermenetik misalnya saya sangat mudah memahami cerita apa yang diadopsi oleh kaum muda dalam memandang diri dan dunianya. Cerita-cerita yang dulu saya baca mengenai Yesus dan para Nabi membantu saya memahami bagaimana kaum muda menghayati hidupnya, harapan dan ketakutannya akan dunia dan masa depannya. Juga karena saya terbiasa mendengarkan sharing orang seperti dulu ketika di dalam kelompok kecil, saya cukup mudah ber-empati dan masuk ke berbagai kalangan kaum muda mulai dari buruh sampai sosialita.

Di bagian lain karena banyak rekan di bisnis yang tahu bahwa saya mengajar di sebuah universitas yang membawa embel-embel Katolik saya sangat sering ditanya apakah saya dapat memberikan rekomendasi siapa anak muda yang punya karakter dan berpotensi menjadi pemimpin. Saya selalu gigit jari menjawab pertanyaan ini. Saya harus mengatakan bahwa pendidikan tinggi di Indonesia gagal mendidik mahasiswanya memiliki karakter yang diperlukan bagi seorang pemimpin. Sekali lagi saya berhutang pada gereja dalam menuntun saya bagaimana seharusnya saya membimbing kaum muda agar memiliki karakter. Saya banyak bekerja dalam projects dan sering membutuhkan juniors untuk membantu pekerjaan saya. Saya sendiri menemukan, sulit sekali mencari anak muda yang punya sikap dan karakter memadai untuk bekerja. Itu pula yang dilihat oleh beberapa perusahaan besar yang kemudian sangat serius dengan persoalan pendidikan.

Demikian inti ceritanya mengapa saya masih peduli dengan kaum muda. Pertama karena pekerjaan saya memang mengharuskan saya memasuki kehidupan mereka, memahami permasalahan mereka dan mencari cara menolong hidup mereka. Kedua karena saya gregetan karena sulit sekali mencari anak muda yang asyik, punya karakter dan produktif.

Saya mau tidak mau akhirnya melihat apa yang saya lakukan di dunia bisnis banyak kemiripannya dengan apa yang di mata saya mestinya menjadi fungsi gereja bagi kaum muda. Mengapa saya masih peduli pada Gereja? Mungkin karena alasan sejarah merasa berhutang, atau mungkin juga karena saya masih punya harap bahwa suatu saat Gereja dapat benar-benar menolong kaum muda yang restless seperti saya dulu.

Gereja sebagai sebuah brand

Saya ingin mengajak anda menempatkan diri sebagai visionary brand owner, melakukan refleksi atas keberadaan Gereja bagi dunia kontemporer dan khususnya bagi anak muda. Kacamata yang saya pakai adalah seperti biasanya saya membantu brand yang jadi klien saya. Ketika menangani sebuah brand, saya selalu berangkat dari prinsip, bahwa agar sebuah brand hidup dan berkembang ia mesti memberi sesuatu (produk dan/atau layanan) yang memiliki relevansi dan daya tarik bagi target audience-nya. Lebih jauh brand juga mesti terkomunikasi dengan baik pada audience-nya. Tugas saya biasanya adalah bertemu dengan target audience untuk memperoleh insights bagaimana brand dapat memposisikan dan mengkomunikasikan dirinya dalam memenuhi kebutuhan dan membantu mereka berkembang hidupnya. Apabila ini adalah brand yang sudah lama ada di pasar tugas saya pertama-tama adalah melakukan audit mengenai kondisi brand saat ini.

Kira-kira ini yang saya ingin lakukan: melakukan brand audit Gereja dengan target audience kaum muda urban di Jakarta. Tentu saja tulisan ini tidak akan mampu tuntas melakukan tugas ini. Paling tidak harapan saya adalah tulisan ini mengajak kita mengajukan pertanyaan-pertanyaan reflektif dari kacamata visionary brand owners, sejauhmana Gereja memberikan layanan (atau bahkan produk, kalau ada) yang relevan dan memiliki daya tarik bagi kaum muda. Apabila diibaratkan Gereja seperti Java Jazz Festival apa yang bisa dipelajari dari brand tersebut dan apa yang bisa dilakukan agar events yang diselenggarakan Gereja menjadi acara yang ditunggu-tunggu oleh banyak kaum muda, bahkan mereka rela membayar mahal untuk menghadirinya. Artinya, bagaimana agar Gereja menjadi sesuatu yang valuable bagi kaum muda hingga mau merelakan, kalaupun bukan uang, paling tidak waktu dan tenaganya.

Saya ingin mulai dengan pengamatan pribadi. Masih banyak kaum muda yang terlihat datang ke Gereja, walau mungkin jumlahnya lebih sedikit yang datang ke Gereja old fashion seperti GKI KB atau Gereja Katolik dibandingkan yang datang ke gereja-gereja yang lebih progresif dan ekspresif. Ini menunjukkan bahwa gereja secara umum masih memiliki sesuatu yang relevan dan mungkin juga daya tarik bagi kaum muda. Tidak seperti misalnya gereja-gereja di Eropa daratan yang sudah ditinggalkan sama sekali oleh kaum mudanya.

Pertanyaannya adalah kebutuhan apa yang saat ini dipenuhi oleh Gereja dan mungkin masih menjadi daya tarik bagi kaum muda saat ini? Bagaimana Gereja dilihat oleh kaum muda? Kaum muda seperti apa yang masih datang dan melihat Gereja relevan dan menarik? Apa yang dilakukan oleh Gereja saat ini yang masih dilihat relevan? Apa yang menjadi unique selling point gereja di antara berbagai pilihan kegiatan waktu luang yang ditawarkan oleh berbagai pihak di luar Gereja? Di lain pihak apa yang menjadi hambatan bagi kaum muda datang ke Gereja? Kaum muda seperti apa yang memiliki hambatan datang ke Gereja? Apa yang dimiliki Gereja, yang potensial relevan dan menarik bagi mereka?  Kemana seharusnya Gereja bergerak agar tetap dapat melayani kaum muda? Dan pertanyaan paling penting dan mendasari semua pertanyaan sebelumnya adalah: which business the Church is in and for which audience? Itu adalah pertanyaan yang biasa ditanyakan secara reflektif oleh brand owners dan sebaiknya dipertanyakan oleh pengelola Gereja.

Which business the Church is in? Berangkat dari pertanyaan ini, di mata saya Gereja adalah sebuah extended domestic community life yang menawarkan sanctuary bagi anggotanya. Sanctuary bukan terutama sebagai tempat pelarian melain sebagai tempat dimana kaum muda dipersiapkan untuk bisa mengatakan "YA" pada hidup, untuk memiliki courage dalam melakukan perjalanan hidup. Apa yang ditawarkan oleh institusi seperti ini pada dasarnya adalah sanctuary dimana orang memperoleh the experience of greater being, guidance and consolation yang memampukan dan memberanikan anggotanya menjalani hidup di luar sanctuary tersebut. Dalam bahasa teologi, apa yang mestinya ditawarkan oleh Gereja adalah pengalaman transenden pertemuan dengan Tuhan untuk mempersiapkan manusia menjalani hidupnya yang imanen. Apa yang membedakan satu institusi agama dengan yang lainnya adalah jenis mythology, ritual dan didactic practices yang ditawarkan pada umatnya. Dilihat dari kacamata brand, agama yang banyak pengikutnya adalah yang dapat memberikan pengalaman transenden yang relevan (berguna) dan menarik bagi hidup imanen pengikutnya.

Saya lebih suka menggambarkan Gereja dengan contoh sederhana seperti sarang burung. Setelah anak-anak burung cukup usianya untuk belajar terbang, ia akan dibimbing dan bahkan "dipaksa" oleh induknya untuk menjatuhkan diri keluar dari sarangnya. Atau bagi yang senang menonton film kungfu, posisi Gereja adalah seperti Shaolin Temple bagi murid-muridnya. Setelah menjalani berbagai ritual, meditasi dan latihan disiplin para murid Shaolin akan diharuskan keluar melakukan perjalanan ke dunia persilatan. Boleh jadi para murid tersebut tidak punya kesempatan kembali secara fisik ke biara Shaolin. Akan tetapi semua ritual, meditasi dan latihan akan tetap dilakukan walau berada di perjalanan. Apa yang saya sebut sebagai warisan Gereja di atas persis seperti warisan yang diperoleh para murid Shaolin dari biaranya.

Apa yang saya pahami dan lihat boleh jadi salah, akan tetapi inilah yang saya lihat tentang gereja: Gereja lebih berfungsi sebagai nice social gatherings dimana orang merasa nyaman di dalam comfort zone-nya bertemu dengan teman lama dan keluarga. Versi lain dari Gereja adalah menjadi gedung pertunjukan dimana ada sebagian orang menjadi performer dan yang lainnya penonton. Tidak ada yang salah tentunya bila gereja punya fungsi seperti ini. Akan tetapi bila Gereja memposisikan diri seperti ini competitor sesungguhnya bagi Gereja bukanlah Agama atau gereja lain, melainkan brand seperti Java Jazz Festival, atau band musik pop, movies atau klub sepakbola seperti Manchester United. Apabila mau bersaing dengan mereka, saya yakin Gereja akan kalah populer.

Mungkin ini menjelaskan mengapa orang seperti saya tidak tertarik pada Gereja maupun komunitas agama lainnya sebagai nice social gatherings. Saya mungkin orang yang sering bermasalah bila mesti hidup dalam komunitas yang guyub. Pertama saya akan cepat bosan. Lalu saya akan mulai mengganggu orang dengan berbagai pertanyaan dan komentar. Saya lebih bisa membayangkan diri saya sebagai anak jalanan dibandingkan anak rumahan yang taat apa kata orangtua. Apa yang dikatakan "jangan!" oleh orangtua malah besar kemungkinan saya lakukan. Beruntung orangtua saya punya enam anak dan tidak punya kesempatan mengontrol keenam anaknya satu per satu. Saya membayangkan orangtua saya berkomentar bahwa hidup saya luntang-lantung tidak jelas tujuannya. Itu karena saya lebih tertarik mencoba berbagai hal yang saya tidak kenal sebelumnya. Apabila menggunakan cerita alkitab tentang Anak yang Hilang (Prodigal Son) saya lebih suka menjadi anak yang hilang itu.

Sebagai sebuah gedung pertunjukkan sudah jelas Gereja kalah menarik buat saya dibandingkan membaca novel, cerita silat Kho ping ho, menonton film Starwars. Jaman saya remaja TV channel baru ada TVRI saja. Juga internet baru ada sejak saya lulus kuliah. Saya membayangkan orang seperti saya di jaman sekarang sama sekali tidak akan tertarik datang ke Gereja mengingat banyaknya hal menarik yang ditawarkan dunia.

Justru menarik buat saya mengamati bahwa ternyata masih banyak kaum muda yang datang ke Gereja. Pertanyaan besar buat saya adalah orang muda seperti apa yang masih datang ke Gereja? Apa yang membuat mereka masih datang ke Gereja? Yang jelas buat saya adalah kaum muda urban di Indonesia berbeda jauh karakternya dibandingkan kaum muda Eropa daratan yang saya kenal ketika saya sempat tinggal beberapa tahun di sana. Di sana Gereja isinya adalah kakek dan nenek.

Sekali lagi apa yang yang lihat ini boleh jadi salah. Pengamatan saya berangkat dari ruang kuliah dan lingkungan kampus. Selama lebih dari sepuluh tahun mengajar saya melihat ada dua kelompok besar mahasiswa di ruang kuliah berdasarkan sorot matanya: mahasiswa bersorot mata kosong seperti zombie; dan mahasiswa bersorot mata berbinar. Dari kira-kira tigapuluh sampai empatpuluh mahasiswa di ruang kuliah, saya hanya menemukan satu atau dua mahasiswa dengan mata berbinar. Di luar ruang kuliah, ketika jaman dulu masih banyak waktu di dunia pendidikan saya lebih suka nongkrong di kantin sambil merokok daripada berada dalam cubicle dosen. Di sana saya melihat dua kelompok mahasiswa lainnya yang suka mendatangi saya ngobrol di kantin: mahasiswa dengan sorot mata lelah bermasalah, dan mahasiswa dengan mata sok cool. Dua jenis mahasiswa ini biasanya jarang saya temui di ruang kelas. Menjadi mahasiswa yang rajin kuliah buat kategori terakhir ini dilihat nggak cool. Mereka lebih senang dilihat sebagai mahasiswa bandel. Kalaupun mereka ada di kelas, biasanya mereka punya mata mengantuk.

Dugaan saya kaum muda yang datang ke Gereja adalah mereka yang mirip dengan mahasiswa saya yang bermata kosong di ruang kelas. Mahasiswa zombie, saya menyebutnya karena masuk ke dalam kelas seperti itu saya merasa seperti ada di kuburan. Orang muda seperti ini, they do things since they're told to do so by whichever authorities that happen to have control over their mind. Mereka datang dari keluarga  kelas menengah yang berkelimpahan, tidak pernah merasa lapar atau marah. Semua kebutuhan mereka terpenuhi, dan malah berlebihan. Hidup mereka sangat rutin dan mungkin juga teratur rapih. Apa kegiatan mereka, dimana dan dengan modus transportasi apa mereka berkegiatan cukup mudah ditebak: dengan mobil bersopir yang siap menerima perintah antar jemput dari rumah ke kampus atau mall. Dari usia cukup dini mereka biasanya dibekali dengan mobile phone oleh orangtuanya, dengan satu tujuan: supaya orangtua dapat segera mengetahui whereabout mereka.

Mengapa saya menyebut mereka zombie? Karena di mata saya mereka seperti tidak  punya the experience of being alive. Mereka tidak punya rasa lapar, tidak pernah merasa kuatir besok mereka makan apa, akan tetapi mereka juga tidak punya any excitement, tidak punya minat. Kalaupun mereka punya minat biasanya itu didikte oleh trend sosial dan media. Sama seperti keputusan mereka masuk kuliah karena orangtua punya uang dan semua teman-teman mereka juga kuliah. Mereka adalah pasar paling lucrative bagi brand yang menyasar anak muda: punya dayabeli dan mudah sekali di-seduced. Brand owners sangat tahu apa yang akan membuat mereka get moved dan membeli

Saya menyebut gejala ini sebagai the paradox of abundance. Mereka memiliki segalanya kecuali satu: rasa lapar. Mereka seperti orang yang duduk di meja makan yang penuh dengan makanan enak, tetapi tidak punya nafsu makan.

Apabila dugaan dan pengamatan saya benar maka pertanyaan besar untuk Gereja adalah: bagaimana Gereja hendak memposisikan dirinya? Segmen kaum muda mana yang mau dilayani? Dan mau kemana Gereja membawa mereka? Apa key messages Gereja untuk mereka?

Di titik refleksi ini kemudian selalu terngiang di benak saya salah satu warisan Gereja yang buat saya paling berharga: Delapan ucapan bahagia


Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga.
Berbahagialah orang yang berdukacita, karena mereka akan dihibur.
Berbahagialah orang yang lemah lembut, karena mereka akan memiliki bumi.
Berbahagialah orang yang lapar dan haus akan kebenaran, karena mereka akan dipuaskan.
Berbahagialah orang yang murah hatinya, karena mereka akan beroleh kemurahan.
Berbahagialah orang yang suci hatinya, karena mereka akan melihat Allah.
Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah.
Berbahagialah orang yang dianiaya oleh sebab kebenaran, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga.


No comments:

Post a Comment