Tuesday, April 24, 2012

Menyoal Ilmu Psikologi Positivistik

Okki Sutanto, adalah salah satu anak muda yang langka di mata saya karena semangatnya menulis di blog. (klik di sini untuk baca blognya) Ia mengirimkan salah satu artikel lama yang saya sendiri sudah tidak punya arsipnya. Kalau tidak salah artikel ini saya tulis tahun 2001. Terima kasih Ki!

Oleh Eric Santosa
1. Pengantar
Alkisah di Leipzig tahun 1879, Wilhelm Wundt mendirikan laboratorium psikologi pertama. Itulah tanda kelahiran psikologi sebagai ilmu pengetahuan empiris. Begitu kira-kira cerita yang sering dituturkan di dalam kuliah-kuliah sejarah psikologi. Sebagai ilmu pengetahuan empiris, psikologi mendeklarasikan dirinya sebagai studi ilmiah tentang perilaku dan proses-proses mental. Misi yang diembannya kurang lebih adalah: menggambarkan, secara objektif, perilaku dan proses-proses mental dengan menggunakan pengamatan yang hati-hati dan sistematis; menjelaskan mengapa perilaku dan proses mental itu terjadi; dan meramalkan apa yang seseorang akan lakukan di masa depan, berdasarkan peristiwa yang sudah lalu.
Deklarasi seperti ini cukup untuk mengindikasikan bahwa ilmu psikologi menganggap dirinya sebagai bagian dari ilmu positivistik yang mengadopsi premis-premis tertentu tentang kenyataan yang menjadi objek studi (tataran ontologis), dan bagaimana memperoleh pengetahuan tentang kenyataan tersebut (tataran epistemologis). 
Pada intinya, premis ini mengatakan bahwa ada suatu kenyataan objektif berupa substansi yang memiliki esensi terlepas dari lingkungan sekitarnya, dan bahwa substansi tersebut merupakan sebuah sistem yang diatur oleh suatu hukum tertentu. Tentu substansi itu mungkin saja dipengaruhi oleh lingkungannya, akan tetapi esensinya sudah diasumsikan terlebih dulu ada terlepas dari lingkungannya. Kita akan menyebut premis ini sebagai premis esensialis, karena mengasumsikan esensi objektif dari kenyataan yang sedang diamati.
Premis berikutnya yang sangat erat kaitannya adalah premis representasionis dan verifikasionis. Premis-premis ini berbicara mengetahui pengetahuan. Di luar kenyataanobjektif diasumsikan ada subjek pengamat yang berkesadaran. Pengetahuan merupakan implikasi logis dari kesadaran subjek pengamat. 
Premis representasionis mengatakan bahwa pengetahuan dapat diumpamakan sebagai gambar yang mewakili (to represent) kenyataan objektif. Implikasinya lebih jauh adalah bahwa secara prinsipil hanya ada satu gambar saja yang benar, yaitu yang benar-benar tepat menggambarkan kenyataan objektif tersebut.
Disinilah premis verifikasionis memainkan perannya. Premis ini mengatakanbahwa pengetahuan mesti dibuktikan (verified) kebenarannya. Pengetahuan yang benar adalah yang memiliki korespondensi dengan kenyataan objektif (bebas nilai). Metode eksperimental dianggap sebagai model ideal cara memperoleh pengetahuan objektif. Berdasarkan pengetahuan yang objektif ini, maka sang subyek pengamat akan mampu meramalkan apa yang akan terjadi pada objek studinya di masa depan. 
Mudah ditebak, bahwa premis-premis ini mengikuti premis ilmu alam ala Newton yang mengandaikan alam semesta itu bagai sebuah mesin besar yang secara prinsip dapat 100% diramalkan tindak tanduknya, baik di masa depan (to predict) maupun di masa lalu (to retrodict), apabila manusia mengetahui hukum yang mengaturnya.
Tentu saja tidak semua aliran pemikiran di psikologi menganut metode eksperimental. Akan tetapi dapat dikatakan bahwa mayoritas menerima premis esensialis dengan memperlakukan kenyataan psikis sebagai substansi objektif (relatif terhadap peneliti sebagai subyek pengamat) yang diatur oleh suatu hukum universal seperti hukum alam. Tujuan utama berbagai aliran psikologi tersebut adalah untuk menemukan ‘hukum alam’ tersebut. Pandangan seperti ini dapat ditemui mulai dari psikologi Freudian, behavioristik, humanistik sampai dengan psikologi kognitif yang mutakhir.
Tulisan berikut ini bermaksud mempersoalkan premis-premis di atas. Ini dilakukan dengan menunjukkan bahwa ketika pendekatan positivistik dipakai untuk mengerti kenyataan psikis dan sosial, ia akan berbenturan dengan premis penting lainnya, yang juga diterima secara parsial oleh pendekatan positivistik, yaitu premis kesadaran manusia. Benturan ini secara logis menimbulkan masalah baik pada tataran teoretis maupun etis.
Untuk mencapai maksud di atas, tulisan ini dibagi menjadi beberapa bagian. Sebagai ilustrasi bagaimana ilmu positivistik memahami objek studinya, di bagian kedua akan digambarkan secara sederhana bagaimana ilmu fisika ala Newton memahami gejala spektrum cahaya. Ilustrasi ini kemudian akan digunakan di bagian ketiga untuk menggambarkan bagaimana psikologi positivistik mencoba mengerti manusia. Di bagian keempat akan dibahas masalah-masalah pada  tataran teoretis dan etis bila pendekatan positivistik dipakai untuk memahami perilaku manusia.
2. Ilustrasi Cara Kerja Ilmu Positivistik
Di bangku sekolah menengah, kita belajar bahwa bila cahaya matahari masuk ke sebuah prisma, ia akan keluar kembali dalam bentuk spektrum cahaya. Cahaya matahari adalah cahaya putih yang sebenarnya merupakan kombinasi berbagai cahaya yang dapat diamati melalui cahaya yang keluar dari prisma tersebut. Spektrum cahaya matahari adalah spektrum yang paling lengkap, terdiri dari tujuh warna yang dapat dilihat mata manusia yaitu merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila, dan ungu, dan dua yang tidak dapat dilihat mata manusia, yaitu infra merah dan ultraviolet. Itu adalah spektrum cahaya matahari. 
Akan tetapi tidak semua cahaya menghasilkan spektrum yang lengkap seperti cahaya matahari. Cahaya yang berasal dari zat-zat kimia tertentu menghasilkan spektrum yang tidak lengkap. Zat tersebut memancarkan cahaya bila diberi energi tambahan dengan cara memanaskannya. Sodium, misalnya, bila diberi energi akan memancarkan cahaya kuning. Bila cahaya ini memasuki prisma, maka spektrum yang akan keluar adalah dua garis cahaya kuning tipis. Sebaliknya sodium juga akan menyerap energi yang dipancarkan oleh cahaya. 
Apabila cahaya matahari yang berspektrum lengkap diarahkan menembus uap sodium, cahaya yang keluar akan berspektrum lengkap minus dua cahaya kuning di atas. Ini berarti sodium menyerap sebagian energi cahaya matahari yang masuk. Dapat dikatakan bahwa pancaran atau penyerapan cahaya kuning merupakan sifat zat sodium. Zat-zat lainnya memiliki berbagai sifat yang berbeda sehingga secara prinsip pengamat dapat mengenali suatu zat melalui sifatnya.
Para fisikawan kemudian bertanya: mengapa zat kimia memiliki sifat-sifat seperti itu? Penjelasannya mesti terletak di partikel-partikel terkecil yang membentuk zat tersebut, yaitu atom. Di tahun 1913 seorang fisikawan Denmark bernama Niels Bohr memberi penjelasan dengan menggunakan model sistem solar yang diciptakan dua tahun sebelumnya oleh Ernst Rutherford. Atom digambarkan berisi nukleus yang menjadi pusat berbagai orbit dimana elektron-elektron bergerak mengelilinginya. Tiap jenis atom memiliki jumlah elektron yang berbeda-beda. Energi yang diterima oleh atom akan menyebabkan elektron tertentu lompat keluar orbitnya. Dalam perjalanannya kembali ke orbit mereka akan memancarkan energi. Inilah yang menyebabkan sodium memancarkan cahaya berspektrum kuning ketika dipanaskan.
Pelajaran apa yang dapat ditarik lewat ilustrasi di atas mengenai cara ilmu positivistik memahami objek studinya? Pertama-tama para ilmuwan mesti memperhatikan variasi dan konstansi dari gejala yang menarik perhatiannya. Sodium secara konstan memancarkan dan menyerap cahaya kuning. Zat lainnya memancarkan dan menyerap spektrum cahaya yang berbeda. Kedua, mereka mencari esensi dari substansi untuk menjelaskan variasi dan konstansi gejala. 
Penjelasan seperti ini dapat digambarkan lewat skema stimulus-organ-response (S-O-R). Sodium adalah substansi atau organ yang esensinya mengada terlepas dari lingkungannya. Ia menerima stimulus berupa energi yang menyebabkannya berrespons dengan memancarkan spektrum cahaya tertentu. Yang menjadi pertanyaan bagi para fisikawan adalah apa yang membuat sodium (O) memancarkan spectrum kuning (R) apabila diberi tambahan energi (S). Mereka berpikir jawabannya mesti terdapat di dalam esensi dari sodium. Ini adalah premis esensialis.
Ketiga, para ilmuwan kemudian membuat berbagai hipotesis untuk menjelaskan apa yang terjadi di dalam sodium. Model atom sistem solar merupakan salah satu penjelasan apa yang terjadi di dalam sodium sehingga ia “berperilaku” seperti itu. Diterima atau tidaknya penjelasan di atas sebagai pengetahuan objektif yang universal bergantung pada korespondensinya dengan perilaku objektif sodium yang bisa diamati melintasi ruang-waktu. Ini adalah premis representasionis-verifikasionis.
3. Cara Kerja Ilmu Psikologi Positivistik
Cara psikologi sebagai ilmu positivistik memahami perilaku manusia mirip dengan cara ilmu fisika ala newton memahami “perilaku” sodium di atas. Ini bisa diamati lewat penelitian-penelitian yang dilakukan untuk memahami perilaku manusia. Salah satu contoh yang kurang lebih tipikal adalah penelitian persepsi sosial yang dilakukan oleh Duncan (1976).
Di dalam penelitian ini dua kelompok mahasiswa kulit putih menonton sebuah film yang berisi situasi dimana seseorang mendorong seorang lainnya. Kelompok pertama menonton situasi dimana sang pelaku adalah orang kulit putih, sedangkan yang kedua orang kulit hitam. Kedua kelompok kemudian diminta untuk mengkategorisasi situasi itu sebagai “main-main” atau sebagai “perilaku agresif.”
Duncan menemukan bahwa peserta penelitian cenderung mengkategorisasi situasi tsb sebagai “perilaku agresif” bila sang pelaku berkulit hitam, dan sebagai “main-main” bila sang pelaku berkulit putih. Hasil penelitian ini dijelaskan dengan mengatakan bahwa kategorisasi tersebut terjadi karena peserta penelitian yang berkulit putih memiliki stereotipi dan prasangka negatif (prejudice) terhadap orang berkulit hitam.
Penelitian Duncan ini dilakukan berdasarkan premis-premis ilmu positivistik yang sama dengan ilmu fisika ala newton. Skema S-O-R yang sama dapat diterapkan dalam penelitian ini. Film yang berisi interaksi dua aktor di atas merupakan informasi (S) yang kemudian diproses sedemikian oleh peserta penelitian (O) sehingga menghasilkan respons (R) Berupa kategorisasi “main-main” atau “perilaku agresif.” Skema S-O-R ini mengantar peneliti pada dugaan bahwa mesti ada sesuatu yang terjadi di dalam diri subjek penelitian (O) yang membuat variasi stimulus sejajar dengan variasi respons. Ini adalah premis esensialis.
Penelitian yang mutakhir mengenai perubahan sikap tetap menganut premis-premis positivistik yang sama. Ini dapat dilihat lewat penelitian yang dilakukan oleh Dasgupta dan Greenwald (2001). Tujuan dari penelitian mereka adalah mencari cara untuk mengurangi prasangka negatif otomatis terhadap orang berkulit hitam.
Penelitian ini dilakukan dengan mengikuti skema S-O-R. Peserta penelitian (O) dibagi menjadi tiga kelompok: dua kelompok eksperimen, dan satu kelompok kontrol. Peserta di dua kelompok eksperimen diberi tugas yang mengharuskan mereka melihat dan mengenali berbagai tokoh publik berkulit hitam dan putih, baik yang dikagumi maupun yang tidak disukai. Kelompok eksperimen pertama memperoleh gambar (S1) orang kulit hitam yang dikagumi dan kulit putih yang tidak disukai (gambar pro kulit hitam).
Kelompok eksperimen kedua memperoleh gambar (S2) orang kulit hitam yang tidak disukai dan kulit putih yang dikagumi (gambar pro kulit putih). Kelompok kontrol memperoleh tugas mengenali gambar (S3) serangga dan bunga. Setelah melihat berbagai gambar orang kulit putih dan hitam, peserta penelitian kemudian diminta untuk mengerjakan dua macam tes (R) yang bertujuan mengukur sikap rasial otomatis (Implicit Association Test) dan sikap eksplisit. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa peserta penelitian (O) di kelompok eksperimen pertama yang memperoleh gambar (S1) pro kulit hitam mengalami perubahan sikap rasial otomatis (R) menjadi lebih pro kulit hitam.
Berbagai teori tentang persepsi sosial dan perubahan sikap umumnya berusaha menjelaskan apa yang ada dan terjadi di dalam organ (O) sehingga ia berperilaku tertentu. Sama seperti para fisikawan yang menggambarkan esensi dari berbagai zat kimia dengan mengandaikan keberadaan proton, neutron dan elektron, para ahli psikologi menggambarkan esensi kenyataan psikis manusia dengan mengandaikan keberadaan berbagai instansi mental. Fiske dan Taylor (1991) misalnya mengandaikan adanya dua instansi mental dasar yang ada di dalam diri manusia: kognisi dan motivasi. Ini adalah premis esensialis. 
Pengandaian yang mirip juga dapat dilihat melalui teori McGuire (1969) tentang perubahan sikap. Ia mengandaikan adanya dua proses mental yang mengantar seseorang ke perubahan sikap yaitu reception dan yielding. Reception adalah proses kognitif dimana seseorang mencerna suatu pesan hingga sampai ke pemahaman, sedangkan yielding adalah proses motivasional dimana seseorang menerima pesan sebagai positif sehingga bersedia berperilaku sesuai dengan pemahaman tersebut. Diterima atau tidaknya penjelasan Fiske dan Taylor (1991) dan McGuire (1969) di atas sebagai pengetahuan bergantung pada korespondensinya dengan perilaku manusia yang objektif.
4. Menyoal Ilmu Psikologi Positivistik
Premis esensialis dan verifikasionis menjadi bermasalah bila dipakai untuk memahami perilaku manusia. Masalahnya datang dari premis lain yang sebenarnya penting bagi, dan diterima oleh pendekatan positivistik, yaitu premis kesadaran manusia.
Dalam pendekatan positivistik, pemisahan antara subjek dan objek merupakan faktor penting yang menentukan kebenaran suatu pengetahuan. Kesadaran diterima secara parsial hanya sebagai karakteristik subjek pengamat, dan bukan karakteristik objek. Lebih jauh lagi dapat dikatakan bahwa objek mesti diasumsikan tidak sadar sehingga perilakunya ditentukan sepenuhnya oleh hukum sebab akibat alamiah. 
Tujuan ilmu positivistik adalah menemukan hukum tersebut. Ketika pendekatan ini diterapkan untuk memahami perilaku manusia, ia menjadi tidak konsisten karena premis kesadaran manusia diterima hanya secara parsial. Di satu pihak sang manusia pengamat dianggap berkesadaran sehingga mampu memiliki pengetahuan yang benar. Di lain pihak sang manusia yang diamati dianggap tak berkesadaran, dan perilakunya dikendalikan oleh berbagai kekuatan alamiah yang tidak bisa dikendalikannya. Kalaupun ia dianggap berkesadaran, perilakunya dipandang dikendalikan oleh sebab-sebab yang berada di luar kesadarannya.
Penerimaan premis kesadaran manusia secara parsial menuntun ilmu positivistik untuk memperlakukan manusia sebagai objek belaka. Ini menimbulkan permasalahan baik di tataran teoretis maupun etis. Di tataran teoretis, permasalahannya berawal dari ambisi ilmu positivistik untuk menemukan hukum alamiah universal yang secara tak terelakan mengatur perilaku manusia mengatasi ruang dan waktu.
Ini adalah cita-cita ideal ilmu fisika ala newton yang secara prinsipil dapat dicapai melalui metode eksperimental. Citacita ini tidak bisa hidup berdampingan dengan premis kesadaran manusia. Ketika metode ini diterapkan untuk mencari sebab musabab perilaku manusia, ia boleh jadi menghasilkan pengetahuan tentang faktor-faktor penyebab perilaku yang berada di luar kesadaran manusia yang diamati.
Akan tetapi, begitu pengetahuan tersebut menjadi wacana di luar komunitas peneliti dan menjadi bagian dari kesadaran manusia secara umum, maka secara prinsipil juga hukum sebab-akibat di atas menjadi tidak tak-terhindarkan. Artinya, seseorang kemudian mampu memutuskan apakah ia akan mengikuti atau tidak mengikuti, dan bahkan bila ia memiliki cukup kekuasaan ia dapat mengubah hukum tersebut.
Dengan perkataan lain, hukum itu sendiri menjadi tidak universal, tetapi menjadi bagian dari sejarah manusia yang terikat di dalam ruang dan waktu (Gergen, 1973). Dengan demikian, cita-cita ilmu positivistik untuk menemukan hukum yang mengatur perilaku manusia mengatasi ruang dan waktu secara prinsipil tidak dapat dicapai. 
Argumen di atas bukan bermaksud mengatakan bahwa tidak ada hukum, universal ataupun bukan, yang mengatur perilaku manusia. Yang hendak dikatakan adalah bahwaperilaku manusia tidak diatur oleh hukum alamiah yang tak-terelakkan dan mengatasi sejarah. Oleh karena itu kita harus membedakan hukum yang mengatur gejala alamiah objektif dan gejala kemanusiaan.
Gejala objektif adalah segala macam gejala yang keberadaannya dapat dirasakan oleh kelima indera manusia. Hukum yang mengaturnya adalah hukum sebab-akibat alamiah yang tak terhindarkan dan mengatasi ruang dan waktu. Sebuah bola basket misalnya, yang dilempar ke atas dengan sudut tertentu oleh Reza, akan mengikuti hukum Newton mengenai gaya gravitasi, dan akan kembali mendarat di atas tanah. Ini adalah gejala alamiah objektif yang bisa dirasakan oleh indera manusia, dan yang perilakunya diatur oleh hukum yang tak terhindarkan oleh bola tersebut.
Sama halnya bila bola itu, setelah dilemparkan oleh Reza, mengenai Adri hingga mengakibatkan memar di wajahnya. Ini juga terjadi mengikuti mekanisme fisiologis yang tak terhindarkan bila badan manusia terbentur benda dengan kecepatan tinggi.
Sekarang bayangkan, setelah terbentur bola basket itu, Adri menjadi marah, berlari mengejar Reza dan memukulnya. Apakah ada hubungan sebab-akibat alamiah objektif antara perilaku Reza melempar bola dan kemarahan Adri terhadap Reza? Kedua gejala tersebut tentu saja melibatkan gejala objektif yang dapat dirasakan oleh indera manusia. Akan tetapi gejala objektif tersebut tidak menentukan hubungan keduanya.
Sulit dibayangkan bagaimana ada hubungan sebab-akibat alamiah yang niscaya antara keduanya. Kalaupun ada hokum yang mengatur hubungan keduanya, ia kurang lebih dapat dirumuskan sebagai berikut: “bila seseorang disakiti ia akan marah dan membalas orang yang menyakitinya.” Tidak ada sesuatu yang salah dari rumusan hukum ini kecuali bila ia diperlakukan sebagai hukum alamiah yang tak terhindarkan dan mengatasi sejarah. 
Di tataran etis permasalahannya adalah: premis kesadaran manusia secara parsial, menuntun orang untuk memonopoli kebenaran pengetahuan dan lebih jauh, menindas hak sesamanya untuk mengemukakan pendapat. Ini didasari oleh anggapan bahwa sesamanya tidak mampu untuk memiliki pengetahuan yang benar (incapable of knowledge), dan perilakunya berada di luar kesadaran.
Dalam interaksi sosial konkrit, hubungan subjek objek yang menindas ini dapat dilihat wujudnya di dalam, misalnya, beberapa bentuk interaksi dokter-pasien, psikolog dan kliennya, peneliti psikologi dan peserta penelitiannya. Apabila sikap seperti ini dianut oleh pihak yang berkuasa atas banyak orang, maka yang akan terjadi adalah proses pembisuan kesadaran publik. Suara publik jadinya kemudian hanya membeo apa yang dikatakan oleh pihak penguasa.
Situasi seperti ini dapat dilihat wujudnya dalam, misalnya, praktek pendidikan dimana guru menjadi pihak yang berkuasa atas muridnya. Dalam bentuk hubungan seperti ini, guru adalah pemegang kebenaran mutlak sehingga murid tinggal membeo kata-kata sang guru. Lebih jauh, guru juga bisa dipandang sebagai pihak yang kesadarannya dibelenggu oleh ideologi tertentu yang dianut oleh penguasa birokrasi pendidikan. 
Masih di tataran etis, permasalahan lainnya berawal dari premis esensialis yang diterapkan pada sesama manusia. Premis ini mendorong orang untuk memperlakukan sesamanya sebagai objek yang memiliki esensi mutlak yang tak terelakan dan mengatasi sejarah.
Permasalahan ini bisa dilihat biasanya lewat pernyataan-pernyataan stereotipikal mengenai orang atau kelompok tertentu: “Andi memang dasarnya pemarah,” “Seks bebas adalah kultur barat,” “Pada dasarnya orang Indonesia itu ramah,” “Cara kerja orang Indonesia tidak sistematis,” “Kaum homoseks senang gonta ganti pasangan.” Itu adalah beberapa contoh pernyataan tentang orang atau kultur tertentu yang sering dilontarkan oleh orang awam.
Akan tetapi para ahli perilaku manusia juga memiliki sikap seperti itu, bahkan dengan lebih arogan mengatakan bahwa pernyataan mereka di dasarkan pada penelitian yang objektif. Ini bisa dilihat misalnya lewat teori Individualism-Collectivism (Triandis, 1972; Hofstede, 1980). Manusia, menurut kulturnya, digolongkan ke dalam salah satu kategori: individualis atau kolektivis. Digambarkan bahwa masing-masing kategori itu memiliki perilaku yang khas.
Teori seperti ini, ketika dibawa ke kehidupan sehari-hari, menutup mata sang pengamat terhadap dinamika dan variasi di dalam sebuah masyarakat. Lebih jauh sikap ini bila dianut oleh pihak yang berkuasa atas kesadaran publik berpotensi mendorong marginalisasi orang/ kelompok tertentu yang dianggap berperilaku menyimpang dari kategori normatif.
5. Penutup
Tulisan ini tidak bermaksud mengatakan bahwa pendekatan positivistik harus dicampakkan begitu saja dalam memahami gejala kemanusiaan. Yang hendak dikatakan adalah bahwa bila pendekatan ini akan diterapkan, ini mesti dilakukan secara kritis. Ia boleh jadi dapat diterapkan untuk meneliti berbagai perilaku manusia yang berada di luar kontrol kesadaran pelakunya.
Akan tetapi, pendekatan ini terutama bermasalah dalam usaha memahami kenyataan psikis dan sosial yang melibatkan kesadaran manusia. Pendekatan apa yang lebih tepat dalam memahami kenyataan psikis dan sosial seperti ini? Ini adalah pertanyaan yang masih terbuka bagi diskusi selanjutnya.

DAFTAR PUSTAKA
Duncan, B. L. (1976). Differential Social Perception and Attribution of Intergroup Violence: Testing the Lower Limits of Stereotyping of Blacks. Journal of Personality and Social Psychology, 34: 590-8.
Dasgupta, N. & Greenwald, A. G. (2001). On the Malleability of Automatic Attitudes: Combating Automatic Prejudice With Images of Admired and Disliked Individuals. Journal of Personality and Social Psychology, 81: 800-814.
Fiske, S. T. & Taylor, S. E. (1991). Social Cognition. McGraw-Hill, Singapore.
Gergen, Kenneth J. (1973). Social Psychology as History. Journal of Personality and Social Psychology, 26: 309-20.
McGuire, W. J. (1969). The nature of attitudes and attitude change. In G. Lindzey & E. Aronson (Eds.), Handbook of social psychology (2nd ed., Vol. 3, pp. 136-314). Reading, MA: Addison-Wesley.
Triandis, H. C. (1972). The Analysis of Subjective Culture. John Wiley, New York.
Hofstede, G. (1980). Culture’s Consequences: International Differences in Work-Related Values. Sage, Beverly Hills CA.

No comments:

Post a Comment