Saturday, May 28, 2011

Memahami media dan manusia Indonesia melalui archetypal narrative

Media masa sejalan dengan proses reformasi di Indonesia mengalami perkembangan yang sangat pesat. Dalam dunia pertelevisian sebelum tahun 1989 penduduk Indonesia hanya mengenal satu stasiun TV terrestrial milik pemerintah (TVRI) yang memulai siarannya sejak tahun 1962. Hanya segelintir masyarakat kelas atas yang dapat mengakses program TV dari luar Indonesia melalui antene parabola. Pada tahun 1989 pemerintah mengijinkan beroperasinya TV swasta pertama, yaitu RCTI, yang menyiarkan programnya kepada masyarakat yang memiliki decoder. Baru pada tahun 1992 program TV RCTI dapat diakses oleh masyarakat umum. Sejak saat itu sampai sekarang tahun 2009 sudah ada 11 stasiun TV nasional. (Sumber: Ditpolkom Bappenas, 2009).

Perkembangan stasiun TV lokal lebih pesat  lagi. Terutama sejak disahkannya otonomi daerah melalui UU no. 22/1999 di awal jaman reformasi TV local mulai muncul berjamuran. Asosiasi TV local Indonesia yang baru berdiri tahun 2002 sekarang memiliki anggota terdaftar sebanyak 29 stasiun TV local yang tersebar mulai dari Aceh sampai dengan Ambon. (Sumber: ATVLI, 2009). Di luar anggota ATVLI ini masih banyak stasiun TV local yang belum terdaftar. Berbagai sumber memiliki catatan yang bervariasi mulai dari 60 sampai dengan 117 TV local.

Dalam dunia media cetak menurut catatan Dewan Pers terdapat 289 media cetak pada masa orde baru. Pada tahun pertama masa reformasi jumlahnya melonjak menjadi 1.687. Di tahun 2008 jumlahnya sudah berkurang menjadi 830 media cetak. (Sumber: Antara, 2008). Hal yang sama juga terjadi dalam dunia radio swasta. Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia mencatat bahwa jumlah anggotanya sebanyak 847 pada tahun 2007. Berbagai catatan mengindikasikan jumlah stasiun radio yang tidak terdaftar mencapai 8000.

Apabila kita melihat perkembangan media di atas sebagai suatu pertumbuhan industri, maka dapat dibayangkan bagaimana kondisi persaingan berbagai media tersebut dalam usaha memperoleh dan mempertahankan audience. Demi kelangsungan hidupnya media mau tidak mau harus berusaha membuat program atau rubriknya menarik bagi sebanyak mungkin audience dari berbagai segmen masyarakat.

Dalam usahanya tersebut media kemudian menjadi salah satu kekuatan penting yang mempengaruhi arah perubahan masyarakat dalam segala aspeknya. Media yang berhasil lalu menjadi sangat berpengaruh karena didengarkan oleh banyak orang. Di lain pihak media yang berhasil juga dapat menjadi teropong untuk memahami kepribadian berbagai segmen masyarakat Indonesia.

Dengan banyaknya pilihan media, maka media yang paling banyak dipilih untuk didengar, ditonton atau dibaca dapat menjadi semacam cermin untuk memahami bagaimana berbagai segmen masyarakat Indonesia menghayati dirinya dan hidupnya.

Tulisan ini mencoba memperkenalkan secara skematik suatu pendekatan untuk memahami bagaimana media melalui berbagai programnya mempengaruhi pemirsanya. Lebih jauh lagi dengan memahami program atau rubric mana saja yang paling berhasil memperoleh audience, pendekatan ini menawarkan cara untuk memahami bagaimana masyarakat Indonesia kontemporer menghayati dirinya dan hidupnya.

Karena keterbatasan ruang, tulisan ini tidak bermaksud membuat gambaran manusia Indonesia melalui media. Masih diperlukan banyak penelitian secara sistematis dengan menggunakan pendekatan yang ditawarkan di sini untuk sampai pada gambaran mengenai manusia Indonesia. Dua konsep penting yang mendasari pendekatan ini adalah narrative dan archetype, akan dijelaskna di dalam tulisan ini.

Pendekatan naratif arkhetipal dalam memahami manusia

Dalam konteks psikologi, naratif dapat dipahami sebagai suatu modus penghayatan atas diri sendiri dan dunia seseorang (mode of experience). Salah satu aspek penting dari modus penghayatan ini adalah modus berpikir manusia dalam usaha memahami dirinya dan dunianya. Sebagai modus berpikir, modus naratif dapat dibedakan dari modus logika (logical mode of thought).

Bruner (1990) menggunakan istilah paradigmatic (logical) vs. narrative mode of thought. Modus logika adalah modus yang aktif ketika manusia mencoba memahami dunianya sebagai gejala alamiah dengan mengikuti proses deduksi dan induksi. Apabila Andi melompat dari lantai 6 sebuah gedung perkantoran, akan dapat dimengerti sebagai akibatnya Andi akan jatuh karena adanya gaya gravitasi dan mengalami cidera minimal patah tulang dan bahkan dapat mengakibatkan kematian.

Apabila anda menjadi pengamat kejadian tersebut sangat boleh jadi secara spontan akan muncul pertanyaan dalam benak anda: mengapa Andi melakukan tindakan tersebut? Usaha menjawab pertanyaan tersebut akan menghasilkan beberapa versi cerita yang “masuk akal” dan membuat tindakan Andi lompat dari lantai 6 bisa dimengerti.

Dalam hal ini modus naratif menolong anda dalam memahami dunia sosial yang melibatkan berbagai tindakan manusia dengan menghasilkan berbagai versi cerita sedemikian sehingga berbagai tindakan tersebut menjadi bermakna. Modus naratif memungkinkan terbentuknya interpretasi atas tindakan manusia.Jadi modus naratif adalah modus yang aktif dalam usaha memahami dunia yang melibatkan tindakan manusia.

Bruner menjelaskan bagaimana tindakan manusia memperoleh maknanya dalam sebuah cerita, sebagai berikut:

“a narrative is composed of a unique sequence of events, mental states, happenings involving human beingsq as characters or actors. These are its constituents. But these constituents do not, as it were, have a life or meaning of their own. Their meaning is given by their place in the overall configuration of the sequence as a whole-its plot or fabula.” Bruner (1990: 43)

Mengikuti penjelasan Bruner, tindakan manusia adalah constituent dari sebuah naratif. Tindakan tersebut hanya bisa dipahami apabila ditempatkan dalam konteks Fabula dan plot tertentu. Fabula di sini dipahami sebagai “a timeless underlying theme” yang mendasari plot atau sequence of events (Bruner, 1986, p. 17-21; Bruner, 2004, p.696).

Fabula pada gilirannya hanya bisa dipahami apabila kita “membaca” sequence of events-nya. Kembali ke contoh di atas, dalam usaha memahami tindakan Andi lompat dari lantai 6 boleh jadi anda melakukan investigasi terhadap teman-teman yang mengenal Andi.

Ada dua cara melakukannya: meminta para saksi menuturkan kembali sequence of events sebelum peristiwa tersebut untuk kemudian menyimpulkan tema ceritanya; atau anda berangkat dengan dugaan tema cerita dan kemudian mencoba memahami berbagai events yang terkait dengan tindakan Andi. Sebagai contoh, anda memiliki dugaan bahwa tema ceritanya adalah frustasi akibat kebangkrutan, dan kemudian memahami semua constituents cerita sesuai dengan tema tersebut; atau anda mendengar mencari tahu lebih dulu sequence of events-nya dan menyimpulkan tema ceritanya. Tindakan Andi dapat dipahami secara berbeda apabila tema ceritanya adalah cinta tak berbalas.

Mengutip Kenneth Burke, Bruner (1990: 50) menjelaskan lebih detil enam constituents naratif: actor, tindakan (action), tujuan (goal), situasi (scene), instrument/ prop dan masalah (trouble). Lima constituents pertama, disebut sebagai narrative pentad, mesti ada apabila seseorang hendak memahami suatu peristiwa.

“Andi adalah seorang pemilik perusahaan distribusi. Ia sedang duduk termenung di meja kerjanya setelah menerima telepon.” Dalam deskripsi peristiwa ini tidak semua constituent secara eksplisit dituturkan, akan tetapi apabila anda ditanya apa tujuan atau motif Andi sebagai pengusaha maka jawaban tidak akan sulit diperoleh. Bila kita kemudian mengaitkan deskripsi peristiwa ini dengan peristiwa Andi lompat dari lantai 6, kita sudah bisa membayangkan sebuah cerita yang akan dianggap layak sebagai berita di TV.

Constituent keenam yaitu masalah/ trouble adalah constituent yang membuat sebuah cerita memperoleh perhatian dari audience-nya.

Trouble sebagai constituent cerita perlu dipahami lebih jauh. Di satu pihak trouble merupakan constituent penting yang membuat sebuah cerita “layak menjadi berita.” Di lain pihak penggunaan istilah trouble oleh Burke membuatnya dipahami terbatas pada peristiwa yang memberikan pengalaman negative bagi actor.

Konsep yang mungkin lebih tepat dipakai adalah disruption atau violation dari kanon. Kanon adalah segala sesuatu di dalam dunia manusia yang bersifat taken-for-granted, dianggap wajar, dan kemungkinannya kecil untuk dipertanyakan.

Apabila saya bercerita: “ketika anak saya berumur empat tahun berulangtahun, kami mengadakan pesta di rumah dengan mengundang teman-temannya. Setelah meniup lilin, ia membuka kadonya dan memperoleh hadiah mainan. Saat itu ia merasa sangat bahagia”; dan kemudian bertanya: “apa yang membuat anak saya bahagia?” orang yang mendengar pertanyaan saya akan bingung mengapa saya mempertanyakan hal itu.

Orang akan berkomentar: “ya anak anda bahagia karena sedang berulang tahun.” Cerita tersebut berisi semua kewajaran yang tidak perlu dipertanyakan.

Ceritanya akan lebih menarik apabila, misalnya, kado yang diperoleh adalah cek senilai satu juta dolar amerika. Adalah kemudian wajar bila muncul pertanyaan: siapa yang memberikan hadiah itu dan bagaimana ceritanya? Dalam cerita versi kedua ada kanon yang mengalami disruption atau violation: adalah tidak wajar seorang anak berumur empat tahun memperoleh hadiah cek dengan nilai sebesar itu.

Lingkungan kehidupan sosial budaya dimana manusia hidup dipenuhi dengan berbagai variasi naratif yang bersifat kanonikal dan membuat manusia dapat memahami diri, orang lain, dan dunia dimana mereka ada di dalamnya. Ini bukan berarti manusia hidup seperti robot dimana semua naratif sudah tersedia dan ditaati seperti hukum alam. Manusia yang memiliki kehendak bebas dimungkinkan dan mampu melakukan disruption atau violation terhadap naratif kanonikal.

Akan tetapi seperti sudah diperlihatkan di atas, setiap violation menimbulkan pertanyaan dari lingkungan sosial yang bersifat tuntutan untuk membuat “penjelasan yang masuk akal” atas violation tersebut. Penjelasan tersebut pada gilirannya akan menghasilkan naratif lain yang fungsinya adalah melakukan mitigasi terhadap violation sehingga dapat kembali dipahami sebagai masuk akal.

Boleh jadi naratif yang semula berfungsi untuk mitigasi kemudian menjadi kanon dan dianggap kewajaran. Begitulah proses terjadinya perubahan atau pergeseran sosial budaya.

Proses pendewasaan kepribadian manusia memiliki kemiripan dengan proses perkembangan budaya; semakin dewasa semakin kaya naratifnya.

Dimana letak archetype dalam pendekatan naratif seperti yang diuraikan di atas? Sejalan dengan C.G. Jung, archetype di sini dipahami sebagai “primordial image” atau menggunakan istilah yang dipakai oleh Adolf Bastian “elementary ideas” yang memberikan bentuk bagi pengalaman hidup manusia (Mark & Pearson, 2001).

Jadi di sini kita bisa memahami archetype sebagai “elementary forms through which human experience life.” Archetype memungkinkan manusia mampu memahami diri dan dunianya. Dengan begitu kita bisa melihat kemiripan fungsi naratif dan archetype.

Hal ini tidak mengherankan bila kita mengetahui bahwa Jung banyak mempelajari berbagai mitologi dalam membangun konsep archetype. Beberapa archetype yang dikemukakan oleh Jung dan dapat ditemukan dalam berbagai mitologi misalnya trickster, wise old man dan mother archetype.

Pendekatan naratif arkhetipal secara sederhana menempatkan archetype sebagai fabula yang menjadi “a timeless underlying theme” dari sebuah naratif. Sebagai fabula, archetype menentukan bentuk plot atau sequence of events, dan bagaimana events, tindakan, tokoh-tokoh yang terlibat dan situasi dimana events terjadi dimaknai.

Archetype sebagai fabula adalah tema dunia seperti dihayati oleh tokoh atau tokoh-tokoh utama di dalam cerita.

Apa saja archetype yang sudah ditemukenali? Para ahli setelah Jung mengusulkan berbagai system archetype. Umumnya pemikiran yang mencoba menggunakan konsep archetype berada di daerah psikologi klinis, psikoterapi dan belakangan ini juga di daerah marketing dan organizational development.

Salah satu pemikiran tentang archetype yang mungkin bisa berguna untuk meneliti media adalah system yang diusulkan oleh Pearson (1991). Pearson memperkenalkan 12 buah archetype yang digambarkan sebagai sebuah siklus perjalanan hero menuju pembentukan Self.

Ada tiga tahap perjalanan: tahap pertama adalah pembentukan ego, terdiri dari archetype innocent, orphan/ regular guy, warrior, dan caregiver; tahap kedua adalah tahap perjalanan atau pencarian soul, terdiri dari archetype seeker/ explorer, destroyer/ outlaw, lover, dan creator; dan tahap ketiga adalah tahap pembentukan self, terdiri dari archetype ruler, magician, sage dan jester/ fool.

Tahap ego dapat digambarkan sebagai sebuah family archetype: innocent dan orphan adalah dua modus dunia anak, sedangkan warrior dan caregiver masing-masing adalah modus kebapakan dan keibuan. Innocent adalah modus penghayatan dunia yang trustful dan optimistic, sedangkan orphan adalah modus dimana dunia dihayati sebagai sesuatu yang menyakitkan dan distrustful.

Tahap soul adalah transformation archetype dimana sang tokoh (hero) mulai melakukan perjalanan mencari diri (seeker/ explorer) dan harus menghancurkan comfort zone-nya (destroyer/ outlaw), menemukan cinta dan berkomitmen (lover), serta berkarya (creator).

Tahap self adalah tahap return to kingdom archetype, sang tokoh kembali dari perjalanannya bukan lagi sebagai anak-anak melainkan sebagai orang dewasa yang telah menemukan jatidiri dan posisinya di dalam kosmos. Di dalam kerajaan barunya, self mampu dan bertanggungjawab mempertahankan keteraturan/ order (ruler), memiliki personal power untuk melakukan perubahan/ transformasi (magician), mencapai pencerahan dan kebijaksanaan/ wisdom (sage), akan tetapi sekaligus juga mampu bersikap playful dan dapat dengan bebas menikmati kekinian/ carpe diem (jester/ fool).

Penggambaran archetype sebagai sebuah petualangan di atas didasarkan pada karya Joseph Campbell, seorang ahli mitologi. Dalam bukunya “the hero with a thousand faces” Campbell (1949/2004) melakukan analisis terhadap berbagai mitologi dari berbagai kebudayaan.

Ia menggambarkan archetypal plot yang mendasari berbagai mitologi tersebut sebagai suatu sequence of events yang dimulai dengan panggilan pada tokoh (mythological hero) untuk memulai petualangan. Panggilan ini terjadi pada saat sang tokoh sedang hidup dalam ordinary world. Dalam petualangannya sang tokoh akan mengalami berbagai ujian yang berresiko kematian, akan tetapi selalu ada “tangan” yang menolongnya. Akhir dari petualangan tersebut adalah kembalinya sang tokoh ke dalam “kerajaan” dan menjadi pahlawan. Figur 1. Menggambarkan plot petualangan tokoh mythologis dengan beberapa kemungkinan variasinya.

Figure 1. The adventure of mythological hero. Sumber: Campbell, 1949/ 2004, p. 227

Salah satu film box office yang dibuat berdasarkan plot di atas adalah Star Wars. George Lucas sang pembuat film sangat dipengaruhi oleh pemikiran Joseph Campbell, dan menciptakan Star Wars yang secara naratif sangat mirip dengan legenda raja Arthur. Christopher Vogler (dalam Mark & Pearson, 2001) salah seorang story analyst memaparkan kemiripan struktur naratif Star Wars dengan lingkaran mitologis dari Campbell sebagai berikut:


Figure 2. Comparison of Campbell’s and Starwars archetypal plot. (Mark & Pearson, 2001, p. 293)

Dengan semangat yang sama, Margaret Mark dan Paul Wolansky (dalam Mark & Pearson, 2001) melakukan analisis terhadap film-film box-office selama limapuluh tahun terakhir sampai tahun 2000. Mereka kemudian menemukan berbagai variasi plot yang melibatkan berbagai archetype. Figure 3 menggambarkan berbagai plot yang mereka temukan.


Figure 3. Inventory of archetypal plot. (Mark & Pearson, 2001, p.297)

Di dalam figure 3 archetypal plot digambarkanq dengan menggunakan dua dimensi motivasi. Dimensi horisontal adalah tegangan motivasi untuk mencari belongingness, interdependence vs. individuation, pencarian identitas. Dimensi vertical adalah tegangan motivasi untuk mencari rasa aman vs keluar dari comfort zone, melakukan petualangan dan membangun kemampuan mastery.

Semua archetypal plot yang ada pada dasarnya adalah perjalanan untuk mencari surga (Paradise), dan di dalamnya tokoh cerita mengalami perubahan atau perkembangan karakter. Plot yang ada di kuadran kiri-bawah menggambarkan penghargaan pada status quo, tradisi, penolakan terhadap perubahan, dan dambaan sang tokoh untuk merasa aman. Plot transformasi di perpotongan kedua dimensi menggambarkan quantum leap ketika sang tokoh merasa siap berjuang mengejar cita-citanya dan meninggalkan dunia masa lalunya. Kuadran kanan-atas berisi plot yang menggambarkan perjalanan atau pencarian sang tokoh akan jatidiri atau aktualisasi dirinya.

Plot seperti yang digambarkan oleh Campbell (1949/ 2004) adalah overarching plot “wandering angel.” Film Starwars secara keseluruhan mengadopsi plot wandering angel ini. Hal ini tergambar dari tagline-nya yang sangat terkenal “May the force be with you.”

Film-film box –office lainnya mengadopsi berbagai plot yang lebih mikro. Plot Ugly duckling dapat ditemukan dalam film-film seperti Superman dan Pretty Woman. Plot Foundling dapat kita lihat dalam film seperti ET, Free Willy, atau Laskar Pelangi, film local yang penjualan tiketnya mencapai 3 juta lebih di seluruh Indonesia.

Bagaimana pendekatan archetypal narrative di atas digunakan untuk memahami manusia Indonesia? Pertama-tama kita mesti memahami bahwa modus narrative adalah modus yang aktif dalam penghayatan orang atas lingkungan kehidupannya dan dirinya sendiri. Jadi memahami manusia Indonesia artinya memahami narrative seperti apa yang mereka adopsi untuk melihat dunia dan dirinya, dan pada gilirannya menentukan pilihan-pilihan dan tindakan-tindakannya.

Pertanyaan yang perlu dijawab dalam rangka memahaminya adalah archetype seperti apa yang menjadi fabula naratif hidup orang Indonesia? Apa core desire-nya? Apa harapan dan ketakutan mereka? Apa yang mereka lihat sebagai masalah? Apa strategi yang mereka pahami dan gunakan untuk keluar dari masalah tersebut? Siapa saja tokoh yang mereka cintai atau mereka benci? Instrumen apa saja yang relevan di dalam hidup mereka? Archetypal plot seperti apa yang mereka hayati sebagai kanon, sebagai kewajaran dan sekaligus sebagai jalan menuju surga menurut mereka?

Seperti apa archetypal narrative yang aktif bagi manusia Indonesia? Sayangnya belum ada publikasi penelitian yang mencoba menggunakan pendekatan ini untuk memahami manusia Indonesia. Umumnya penelitian-penelitian yang menggunakan pendekatan ini di Indonesia dilakukan untuk kepentingan penelitian pasar, yang hasilnya tidak dapat dipublikasi karena bersifat proprietary.

Ada banyak metode penelitian kualitatif kreatif yang biasa digunakan dalam meneliti archetypal narrative. Salah satu metode penelitian yang bisa digunakan untuk memahami manusia Indonesia adalah melalui analisis terhadap media consumption secara umum meliputi film, lagu, berbagai program TV, radio, rubrik Koran dan majalah yang ditawarkan dan juga iklan yang menarik perhatian banyak orang.

Untuk film dan lagu misalnya analisis dapat dimulai dengan film yang penjualan tiketnya paling banyak atau lagu yang paling banyak digemari oleh segmen tertentu di dalam masyarakat. Untuk memahami bagaimana media dapat menjadi cermin manusia, lebih jauh perlu pemahaman bagaimana hubungan antara media dan permirsanya.

Memahami hubungan media dan pemirsa

Sebelum memahami hubungan media dan pemirsa, adalah penting untuk terlebih dahulu memahami proses negosiasi naratif dalam dunia sosial, dalam interaksi antar manusia. Pendekatan symbolic interactionism dari G.H. Mead (1934) dapat membantu kita dalam memahami proses tersebut.

Symbolic interactionism berkutat dengan usaha menjawab pertanyaan-pertanyaan berkaitan dengan human mind, kesadaran dan kemampuan manusia mengerti dan bekerjasama satu sama lain: bagaimana proses munculnya mind dan kesadaran manusia? Apa yang membuat manusia dapat mengerti satu sama lain? Bagaimana tindakan dan penuturan manusia dapat memiliki makna bagi manusia lain? Apa yang membedakan komunikasi antar manusia berkesadaran dan “komunikasi” antar binatang?

Kita tidak punya cukup ruang untuk membahas secara menyeluruh pendekatan symbolic interactionism di dalam tulisan ini. Pada intinya, yang relevan dengan pembahasan di sini adalah bahwa kesadaran manusia atas dirinya sendiri dan dunia sosialnya dimungkinkan ketika manusia mampu membuat gestures (tindakan dan penuturan) yang memiliki makna yang sama baik untuk diri sendiri maupun untuk lawan bicaranya.

Ini dimungkinkan terjadi dalam proses seorang anak belajar mengerti dunia sosialnya melalui partisipasi dalam berbagai aktivitas manusia dimana berbagai tindakan dan penuturan orang di lingkungannya diarahkan padanya. Dalam situasi tersebut anak kemudian belajar meng-antisipasi tindakan orang lain dan belajar respons yang dianggap wajar terhadap tindakan tersebut. Pada gilirannya, anak kemudian mampu melakukan tindakan/ penuturan yang diarahkan pada dirinya sendiri tanpa kehadiran orang lain, dan berrespon seolah orang lain melakukan tindakan/ penuturan tersebut terhadap dirinya.

Lebih jauh lagi anak kemudian belajar “mengamati” tindakan dan penuturannya sendiri sama seperti ia mengamati orang lain melakukannya. Pada tahap ini Mead kemudian membedakan dua aspek dari diri (self), yaitu “I” dan “me.” “I” adalah diri sebagai subjek yang mengamati, dan “me” adalah diri sebagai objek yang diamati. Proses ini disebut sebagai reflexiveness dan merupakan kondisi penting munculnya kesadaran manusia.

“Mentality on our approach simply comes in when the organism is able to point out meanings to others and to himself. This is the point at which mind appears, or if you like, emerges…. It is absurd to look at the mind simply from the standpoint of the individual human organism; for, although it has its focus there, it is essentially a social phenomenon; even its biological functions are primarily social.” (Mead, 1934,  p. 132-133).

“It is by means of reflexiveness—the turning back of the experience of the individual upon himself—that the whole social process is thus brought into the experience of the individuals involved in it; it is by such means, which enable the individual to take the attitude of the other toward himself, that the individual is able consciously to adjust himself to that process, and to modify the resultant of that process in any given social act in terms of his adjustment to it. Reflexiveness, then, is the essential condition, within the social process, for the development of mind.“ (Mead, 1934,  p. 134).

Jadi menurut Mead pada dasarnya kesadaran manusia atas dirinya dan dunianya, kemampuan manusia mengungkapkan dirinya lewat bahasa, dan kemampuan manusia memahami tindakan dan penuturan orang lain, semua itu bersifat sosial. Itu terjadi melalui proses pengambilan peran (role-taking) dan sikap orang lain (other).

Lebih jauh lagi, melalui konsep generalized other Mead menjelaskan bahwa peran yang diinternalisasi dari orang lain menjadi makin abstrak. Artinya, other di sini tidak lagi dipahami sebagai orang konkret melainkan peran secara abstrak: “If I were in such and such situation and position, I would respond in such and such a way.” Konsep generalized other adalah titik penghubung antara pendekatan symbolic interactionism dan archetypal narrative.

Dalam hal ini generalized other dapat dipahami sebagai posisi tokoh/ actor dalam konteks archetypal narrative tertentu. Bruner (1990) menceritakan penelitiannya mengenai proses belajar narrative pada anak-anak. Sejak usia sangat dini anak sudah belajar memahami dirinya sendiri dalam konteks sosial secara narrative. Symbolic interactionism sangat sejalan dalam menjelaskan proses belajar yang digambarkan oleh Bruner.

Proses negosiasi narrative pada anak lebih bersifat satu arah: outside-in. Artinya, anak akan lebih mudah menerima narrative yang dikenakan oleh lingkungannya terhadap dirinya. Sebagai contoh, apabila orangtua sering mengatakan pada anaknya: “kamu bodoh!” pada dasarnya sang orangtua sedang memaksakan sebuah narrative yang memposisikan sang anak sebagai orang bodoh. Dalam situasi seperti itu, anak tidak memiliki kemampuan bernegosiasi dan akan cenderung menerima begitu saja narrative tersebut. Anak yang marah dan memberontak ketika dikatakan “kamu bodoh” lebih memiliki kehendak untuk menolak narrative tersebut. Akan tetapi biasanya anak tidak bisa melawan dan yang tertinggal padanya adalah emosi kemarahan.

Pada orang dewasa yang sudah memiliki “repetoir” narrative proses negosiasi narrative dengan orang lain akan berjalan lebih seimbang. Artinya, satu pihak tidak dapat begitu saja memaksakan narrative yang diadopsinya kepada pihak lain. Dalam situasi interaksi antar manusia yang berasal dari lingkungan budaya yang mirip, proses negosiasi narrative ini biasanya tidak sulit mencapai kesepakatan. Ini terjadi karena masing-masing memiliki repetoir narrative yang kurang lebih mirip.

Proses negosiasi dan pencapaian kesepakatan di sini tentu saja jangan dipahami sebagai proses yang eksplisit seperti dalam proses negosiasi perdamaian antar dua negara. Proses negosiasi narrative yang terjadi dalam interaksi antar manusia biasanya bersifat implicit, dan hanya menjadi eksplisit ketika terjadi hambatan dalam memahami tindakan satu sama lainnya.

Proses negosiasi yang melibatkan narrative yang sangat berbeda akan sangat sulit dilakukan, dan akan menuntut keterbukaan masing-masing pihak untuk menghayati pengalaman dengan the other narrative. Hal ini biasanya terjadi secara umum dalam konteks komunikasi antar budaya seperti dalam perkawinan pasangan dari bangsa yang berbeda, atau dalam sebuah perusahaan multinasional dimana hubungan atasan-bawahan atau hubungan kerjasama dalam kelompok melibatkan orang-orang dari budaya yang berbeda-beda.

Pada tahap ini pertanyaannya adalah dimana posisi media dalam proses negosiasi narrative? Secara sederhana, di sini media dipahami sebagai pihak-pihak yang menawarkan berbagai narrative, baik secara implicit atau eksplisit. Bentuk media yang paling jelas secara eksplisit menawarkan narrative tertentu dengan menggunakan format storytelling adalah film/ sinetron, lirik lagu, novel, dongeng dan cerita pendek. Bentuk lain yang secara lebih implicit menawarkan narrative adalah berita Koran, foto, reality show, talk show, dan musik.

Dalam hal ini posisi media mirip seperti posisi manusia lain bagi diri dalam interaksi antar manusia. Sama seperti manusia lain (the other) menawarkan suatu narrative melalui tindakan/ penuturannya, begitu pula media menawarkan narrative melalui program atau rubriknya.

Hubungan antara media dan pemirsanya di dalam umumnya negara totaliter biasanya akan lebih mirip dengan hubungan antara orangtua dan anak. Dalam situasi seperti ini pemirsa seperti layaknya seorang anak tidak dapat menolak narrative yang dipaksakan oleh pemerintah totaliter melalui media. Fungsi media dalam situasi seperti ini jadinya adalah sebagai metode indoktrinasi.

Hubungan antara media dan pemirsanya di dalam Negara-negara yang lebih terbuka dan menganut ekonomi pasar bersifat lebih seimbang: pemirsa lebih memiliki posisi tawar dalam hubungannya dengan media. Artinya dalam konteks ini media mau tidak mau mesti mampu menawarkan narrative yang akan membuat calon pemirsanya mau menengok, mendengar atau membacanya.

Pertanyaannya kemudian adalah narrative seperti apa yang akan menarik bagi pemirsa? Pendekatan archetypal narrative pada intinya mengklaim bahwa narrative yang “menghanyutkan” dan menarik bagi audience-nya selalu mengandung unsur yang bersifat archetypal, yang primordial, yang kanonikal, akan tetapi pada saat yang bersamaan, juga selalu mengandung unsur kebaruan (novelty), unsur disruption dari kanon; baru tetapi tidak asing. Dengan perkataan lain cerita yang menghanyutkan selalu memiliki unsur timelessness (archetypal fabula, archetypal plot) dan sekaligus timeliness.

Lebih jauh narrative tersebut juga mesti melakukan fungsi mitigasi sehingga sesuatu yang dipandang sebagai disruption itu kemudian tidak dianggap asing, dan dapat menambah “repetoir” narrative. Singkatnya, narrative yang ditawarkan media mesti memiliki fungsi “mind expanding,” memperluas cakrawala kehidupan sosial budaya dimana pemirsanya tinggal. Dengan menggunakan pendekatan ini, industri media di satu pihak akan sustainable karena dapat mempertahankan pemirsanya; di lain pihak juga melakukan fungsi pengembangan identitas sosial budaya para pemirsanya.

Penutup

Seperti dijelaskan di bagian awal, tulisan ini tidak bermaksud menyajikan gambaran manusia Indonesia melalui media. Begitu pula tulisan ini tidak bermaksud melakukan menyajikan hasil survey terhadap media di Indonesia. Tulisan ini menawarkan pendekatan yang dapat digunakan untuk memahami media dan manusia Indonesia.

Penulis mesti menekankan di sini bahwa kesahihan dan efektivitas pendekatan ini juga masih perlu diuji melalui berbagai penelitian dan aplikasi yang sistematis di dalam industry media. Apa yang disajikan dalam tulisan ini adalah sebuah proses kreatif dalam usaha memahami bangsa Indonesia dan menemukan cara yang efektif dalam mengembangkan industry media.

Tulisan ini akan dianggap berhasil apabila dapat memancing diskusi, rasa ingin tahu dan rencana untuk melakukan penelitian dan aplikasi guna mengembangkan industry media dan identitas bangsa Indonesia.

Daftar Pustaka

Mead, G. H. (1934). Mind, Self, and Society: From the Perspective of a Social Behaviorist. Ed. Charles W. Morris. Chicago: University of Chicago Press.
Bruner, J. (1986). Actual Minds, Possible Worlds. Cambridge: Harvard University Press.
Bruner, J. (1990). Act of Meaning. Cambridge: Harvard University Press.
Bruner, J. (2004). Life as Narrative. social research Vol 71 : No 3 : Fall.
Campbell, J. (1949/ 2004). The Hero with a Thousand Faces. Princeton: Princeton University Press.
Pearson, C. (1991). Awakening the Heroes within: Twelve Archetypes to Help Us Find Ourselves and Transform Our World. HarperOne.
Mark, M. & Pearson, C. (2001). The Hero and the Outlaw: Building Extraordinary Brands Through the Power of Archetypes. McGraw-Hill.

No comments:

Post a Comment